Al Khawarizmi,
seorang ilmuwan besar muslim di bidang Ilmu Matematika pernah berkata “ Jikalau
seorang wanita itu berpikir positif dan berakhlak mulia maka ia adalah angka 1.
Jika ia cantik, maka tambahkan angka 0 di belakangnya menjadi 10. Jika ia kaya,
maka imbuhkan angka 0 di belakangnya menjadi 100. Dan jika ia cerdas, maka
imbuhkan lagi angka 0 di belakangnya menjadi 1000. Ketika ia sudah memiliki
semuanya tetapi tidak memiliki yang pertama. Maka, ia hanyalah “000” tak
bernilai sama sekali ”.
Dari logika
matematis di atas, beliau ingin menjelaskan kepada kita bahwa yang namanya
pikiran positif dan akhlak mulia adalah hal yang sangat berpengaruh bahkan
menjadi penentu utama kesuksesan manusia itu sendiri. Baik kesuksesan secara
duniawi maupun ukhrawi. Sebab, kalau kita ingin membuka “resleting” sejarah,
maka Nabi Muhammad SAW itu di utus oleh Allah SWT adalah semata-mata dalam
rangka menyempurnakan akhlak serta merubah paradigma berpikir masyarakat Arab
Jahiliyah. Bukan menjadikan mereka rupawan, hartawan, ataupun ilmuwan.
Pikiran merupakan
rumusan dari apa yang kita lihat, dengar, rasakan dan yang kita sentuh lalu
diproses di dalam otak dan nurani. Lalu hasilnya kemudian melahirkan sebuah
kesimpulan berbentuk pertanyaan serta pernyataan. Sedangkan akhlak berarti
sebuah perilaku/sikap nyata yang dilakukan secara berulang-ulang dalam
kehidupan berdasarkan pikiran yang terbangun sebelumnya. Jadi, kalau pikirannya
baik maka akhlaknya pun pasti baik begitu pun sebaliknya. Terus terang, saya
tidak bermaksud untuk meng-anak-tirikan mereka yang mempunyai rupa yang indah,
harta yang melimpah, dan ilmu yang beraneka. Akan tetapi yang harus kita pahami
bersama adalah di zaman sekarang yang semakin ke-Barat-baratan, ada sebagian
diantara mereka yang sudah mulai berani menempatkan akhlak/moral di bawah
ketiak busuknya. Maka jangan heran, kalau akhir-akhir ini banyak orang yang
sudah tak lagi mengamalkan ilmunya, melacurkan hartanya, menodai keindahan rupa
yang dimilikinya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan aturan
agama bahkan yang lebih tragisnya mereka telah bermetamorfosa menjadi insan
yang sok tau di hadapan Tuhannya. Dalam tradisi dunia politik pun tak
jarang banyak sekali penyimpangan yang terjadi baik dari segi teknis maupun
tujuan akhirnya. Makanya jangan heran ketika kita mendengar bahwa dunia politik
itu seperti bermain karambol saja. Bagaimana tidak, main karambol itu kan pukul
kesana tapi tujuannya kemari, alias tidak konsisten.
Dalam bukunya Prof. Dr. Syahrin Harahap, M.A. yang berjudul Moral
Akademik, Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A. memberikan pengantarnya yakni
dalam transisi masyarakat Indonesia, hal yang sama juga sering dirasakan,
terutama ketika sebagian kaum berilmu tidak berperilaku sejajar dengan ilmu
yang dimilikinya. Keadaan yang disebut terakhir sering memunculkan kekecewaan,
yang kemudian memunculkan generalisasi yang kurang akurat seperti terlihat
dalam statement “ Saat ini kita membutuhkan orang baik, yang
bermoral, berakhlak, bukan orang pintar.” Statement tersebut di atas
tentu tidak benar sebab kebutuhan kita terhadap keberilmuan merupakan
keniscayaan, apalagi hal itu merupakan salah satu perintah agama. Akan tetapi,
yang menjadi lebih penting adalah bagaimana agar ilmu yang dimiliki seseorang
di-backing oleh moral atau akhlaknya.
Dalam kaitan ini
tampak sangat menarik petunjuk Islam, ketika agama ini meniscayakan penguasaan
ilmu dan keharusan penegakan moral. Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW
bersabda, “Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, baik
laki-laki maupun perempuan” (HR Bukhari & Muslim). Sedemikian
pentingnya penguasaan ilmu itu hingga Rasulullah SAW menyebut adanya prinsip a
long life education sesuai sabdanya, “Menuntut ilmu itu merupakan
kewajiban sejak buaian hingga ke liang lahat” (HR Bukhari & Muslim).
Al-Qur’an Al-Karim menempatkan para ilmuwan pada posisi yang sangat tinggi
sebagaimana firman Allah SWT, Allah meninggikan atau mengangkat derajat
orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat (QS Al-Mujadalah [58]:11).
Akan tetapi, posisi strategis tersebut harus dibarengi dengan keharusan
penegakan keimanan, ketakwaan, dan penegakan moral. Sebab, kitab suci ini
memandang orang yang berilmu sebagai komunitas paling bertakwa kepada Tuhan.
Firman-Nya, Sesungguhnya orang yang paling bertakwa kepada Allah SWT adalah
mereka yang paling banyak ilmu pengetahuannya (QS Fathir [35]:28).
Berdasarkan kemestian logika semacam ini maka Islam menempatkan penegakan moral
di atas ilmu pengetahuan sebagaimana statement yang terkenal di kalangan
umat ini “Moralitas berada di atas ilmu pengetahuan”.
Untuk itu, saya mempunyai sebuah analogi sederhana yakni, pikiran
positif dan akhlak/moral itu ibarat pancingan sedangkan rupa, harta, dan ilmu
adalah ikan. Nah, ketika kita hanya memberikan ikan kepada orang yang
kelaparan dengan cara instan, mungkin ikan itu hanya habis dalam sehari,
selebihnya tidak ada lagi. Tapi ketika kita memberikan pancingan kemudian
mengajarkan cara-cara memancing ikan dengan baik dan benar, maka insyaallah ia
tidak akan kelaparan dalam waktu yang cukup panjang. Jadi, pikiran positif dan
akhlak (moral) itu merupakan alat utama untuk mendapatkan hasil yang sempurna.
Semoga
kita semua dapat menyekolahkan akhlak dan pikiran di bangku terdepan bukan di
bangku belakang. Agar kelak kita bisa menjadi seorang pelopor bukan pengekor,
produsen bukan konsumen, pendengar bukan pembual, dalang bukan wayang, dan
seseorang yang memiliki mental pemenang bukan mental pecundang. Dan seandainya
nanti kita akan terpilih menjadi seorang pemimpin, maka kita adalah pemimpin
yang suka merangkul bukan memukul. Suka bermusyawarah bukan suka marah-marah.
Suka memberi argument bukan sentiment. Suka memberi manfaat bukan mudharat.
Suka bertegur sapa bukan bermottokan sapa ngana sapa kita. Dan seorang
pemimpin yang bisa memberikan fakta bukan hanya sekedar rayuan retorika.
Bukankah itu yang kita inginkan kawan?
Oleh:
Almunauwar
B. Rusli
Pimpinan Umum Lembaga Pers STAIN Manado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar