Jumat, 28 Juni 2013

MENYEKOLAHKAN AKHLAK DAN PIKIRAN



Al Khawarizmi, seorang ilmuwan besar muslim di bidang Ilmu Matematika pernah berkata “ Jikalau seorang wanita itu berpikir positif dan berakhlak mulia maka ia adalah angka 1. Jika ia cantik, maka tambahkan angka 0 di belakangnya menjadi 10. Jika ia kaya, maka imbuhkan angka 0 di belakangnya menjadi 100. Dan jika ia cerdas, maka imbuhkan lagi angka 0 di belakangnya menjadi 1000. Ketika ia sudah memiliki semuanya tetapi tidak memiliki yang pertama. Maka, ia hanyalah “000” tak bernilai sama sekali ”.  

 Dari logika matematis di atas, beliau ingin menjelaskan kepada kita bahwa yang namanya pikiran positif dan akhlak mulia adalah hal yang sangat berpengaruh bahkan menjadi penentu utama kesuksesan manusia itu sendiri. Baik kesuksesan secara duniawi maupun ukhrawi. Sebab, kalau kita ingin membuka “resleting” sejarah, maka Nabi Muhammad SAW itu di utus oleh Allah SWT adalah semata-mata dalam rangka menyempurnakan akhlak serta merubah paradigma berpikir masyarakat Arab Jahiliyah. Bukan menjadikan mereka rupawan, hartawan, ataupun ilmuwan.


Pikiran merupakan rumusan dari apa yang kita lihat, dengar, rasakan dan yang kita sentuh lalu diproses di dalam otak dan nurani. Lalu hasilnya kemudian melahirkan sebuah kesimpulan berbentuk pertanyaan serta pernyataan. Sedangkan akhlak berarti sebuah perilaku/sikap nyata yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kehidupan berdasarkan pikiran yang terbangun sebelumnya. Jadi, kalau pikirannya baik maka akhlaknya pun pasti baik begitu pun sebaliknya. Terus terang, saya tidak bermaksud untuk meng-anak-tirikan mereka yang mempunyai rupa yang indah, harta yang melimpah, dan ilmu yang beraneka. Akan tetapi yang harus kita pahami bersama adalah di zaman sekarang yang semakin ke-Barat-baratan, ada sebagian diantara mereka yang sudah mulai berani menempatkan akhlak/moral di bawah ketiak busuknya. Maka jangan heran, kalau akhir-akhir ini banyak orang yang sudah tak lagi mengamalkan ilmunya, melacurkan hartanya, menodai keindahan rupa yang dimilikinya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan aturan agama bahkan yang lebih tragisnya mereka telah bermetamorfosa menjadi insan yang sok tau di hadapan Tuhannya. Dalam tradisi dunia politik pun tak jarang banyak sekali penyimpangan yang terjadi baik dari segi teknis maupun tujuan akhirnya. Makanya jangan heran ketika kita mendengar bahwa dunia politik itu seperti bermain karambol saja. Bagaimana tidak, main karambol itu kan pukul kesana tapi tujuannya kemari, alias tidak konsisten. 

Dalam bukunya Prof. Dr. Syahrin Harahap, M.A. yang berjudul Moral Akademik, Prof. Dr. H.M. Amien Rais, M.A. memberikan pengantarnya yakni dalam transisi masyarakat Indonesia, hal yang sama juga sering dirasakan, terutama ketika sebagian kaum berilmu tidak berperilaku sejajar dengan ilmu yang dimilikinya. Keadaan yang disebut terakhir sering memunculkan kekecewaan, yang kemudian memunculkan generalisasi yang kurang akurat seperti terlihat dalam statement Saat ini kita membutuhkan orang baik, yang bermoral, berakhlak, bukan orang pintar.Statement tersebut di atas tentu tidak benar sebab kebutuhan kita terhadap keberilmuan merupakan keniscayaan, apalagi hal itu merupakan salah satu perintah agama. Akan tetapi, yang menjadi lebih penting adalah bagaimana agar ilmu yang dimiliki seseorang di-backing oleh moral atau akhlaknya.

Dalam kaitan ini tampak sangat menarik petunjuk Islam, ketika agama ini meniscayakan penguasaan ilmu dan keharusan penegakan moral. Dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan” (HR Bukhari & Muslim). Sedemikian pentingnya penguasaan ilmu itu hingga Rasulullah SAW menyebut adanya prinsip a long life education sesuai sabdanya, “Menuntut ilmu itu merupakan kewajiban sejak buaian hingga ke liang lahat” (HR Bukhari & Muslim). Al-Qur’an Al-Karim menempatkan para ilmuwan pada posisi yang sangat tinggi sebagaimana firman Allah SWT, Allah meninggikan atau mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat (QS Al-Mujadalah [58]:11). Akan tetapi, posisi strategis tersebut harus dibarengi dengan keharusan penegakan keimanan, ketakwaan, dan penegakan moral. Sebab, kitab suci ini memandang orang yang berilmu sebagai komunitas paling bertakwa kepada Tuhan. Firman-Nya, Sesungguhnya orang yang paling bertakwa kepada Allah SWT adalah mereka yang paling banyak ilmu pengetahuannya (QS Fathir [35]:28). Berdasarkan kemestian logika semacam ini maka Islam menempatkan penegakan moral di atas ilmu pengetahuan sebagaimana statement yang terkenal di kalangan umat ini “Moralitas berada di atas ilmu pengetahuan”. 

Untuk itu, saya mempunyai sebuah analogi sederhana yakni, pikiran positif dan akhlak/moral itu ibarat pancingan sedangkan rupa, harta, dan ilmu adalah ikan. Nah, ketika kita hanya memberikan ikan kepada orang yang kelaparan dengan cara instan, mungkin ikan itu hanya habis dalam sehari, selebihnya tidak ada lagi. Tapi ketika kita memberikan pancingan kemudian mengajarkan cara-cara memancing ikan dengan baik dan benar, maka insyaallah ia tidak akan kelaparan dalam waktu yang cukup panjang. Jadi, pikiran positif dan akhlak (moral) itu merupakan alat utama untuk mendapatkan hasil yang sempurna.

Semoga kita semua dapat menyekolahkan akhlak dan pikiran di bangku terdepan bukan di bangku belakang. Agar kelak kita bisa menjadi seorang pelopor bukan pengekor, produsen bukan konsumen, pendengar bukan pembual, dalang bukan wayang, dan seseorang yang memiliki mental pemenang bukan mental pecundang. Dan seandainya nanti kita akan terpilih menjadi seorang pemimpin, maka kita adalah pemimpin yang suka merangkul bukan memukul. Suka bermusyawarah bukan suka marah-marah. Suka memberi argument bukan sentiment. Suka memberi manfaat bukan mudharat. Suka bertegur sapa bukan bermottokan sapa ngana sapa kita. Dan seorang pemimpin yang bisa memberikan fakta bukan hanya sekedar rayuan retorika. Bukankah itu yang kita inginkan kawan? 

Oleh:

Almunauwar B. Rusli 
Pimpinan Umum Lembaga Pers STAIN Manado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar