Jumat, 28 Juni 2013

Pemimpin ber “jantung” bukan ber “jantungan”


Mencari pemimpin sekarang memang sulit, apalagi yang memang menjadi pilihan rakyat. Sebagaimana yang didengung-dengungkan bahwa pemimpin yang dicari sekarang adalah yang merakyat, tak sekedar menjadi wakil rakyat saja yang justru pada kenyataanya seolah menghianati jantung rakyat. Bukankah namanya wakil itu lebih di bawah ketimbang rakyatnya? Bukannya yang menjadi biang kerok ketika digugat. Justru rakyat yang harus digugat karena sebenarnya merekalah pemimpinya, bukan wakil rakyat. Benar?
            Merakyat, sebenarnya sudah dicontohkan oleh konsep kerja jantung kita. Ya, sistem kerja jantung sekarang mungkin bisa menjadi contoh bagi yang ingin mencalonkan diri. Jantung? Siapa yang tak kenal jantung? Sosok organ pemimpin dalam organ tubuh kita, namun amat disayangkan orang sekarang lebih bersahabat dengan penyakit jantungnya ketimbang bersahabat sendiri dengan jantung. Apa karena detakannya hanya mampu dijangkau stetoskop?
Seharusnya yang ingin mencalonkan diri ditanyakan terlebih dahulu apa dia punya jantung? Atau malah berpenyakitan jantung? Memang pertanyaan yang bodoh namun
begitulah kita sebagai rakyat yang kebanyakan dibodohi oleh pemimpin yang katanya ber “hati”. Pemimpin sekarang mayoritas yang jantungan karena tak memahami siapa itu jantung. Melihat begitu banyak kabar media yang memvonis bahwa sebagian pemimpin kita “jantungan” ketika sedikit saja kesalahan yang dilakukan oleh rakyatnya. Contohnya pramugari yang kini menjadi kabar hangat dan lainnya yang masih dingin karena belum dipanaskan media.
Pemimpin sekarang dibutuhkan yang berjiwa “jantung” tak sekedar yang ber “hati” dan tak tahunya sekarang sudah basi sebagaimana yang banyak didengungkan oleh banyak caleg. Katanya jadi pemimpin yang berhati, tapi apa? Nyatanya menetralisir racun korupsi saja yang menjadi kerja utama hati tak dilaksanakan. Mau kerja dengan konsep hati bagaimana? Tapi  itulah kenyataan, oleh karenanya dibutuhkan sekarang pemimpin yang ber “jantung” bukan sekedar pemimpin yang ber “hati”.
Ketika kampanye selalu bersemboyankan menjalin hati dengan memberikan sekilo beras, sekilo minyak goreng, sepabrik supermi dan beberapa nilai rupiah. Tapi apa setelah resmi dilantik menjadi pemimpin? Justru tak ada hati. Ya, namanya juga konsep “hati”. Ketika berkampenya sok ada hati dengan gaya penyantun, namun setelah jabatan terealisasi  justru berganti kata menjadi pemimpin yang tak punya hati. Dasar konsep hati.
Bagaimana dengan model pemimpin yang berjantung? Bukan yang jantungan atau tak punya jantung. Bukankah ujung-ujungnya kampenya para caleg berujung menjadi aturan yang akan berdampak juga pada kesehatan rakyatnya jika memang terpilih. Jika aturannya sehat justru masyarakat tak bakalan sakit, sakit fisik karena jatahnya dikorupsi dan sakit otak memikirkan para pemimpinya yang kurang bermental jantung. Nantinya rakyat yang jantungan dan disitulah akan dipertanyakan apakah pemimpinya punya jantung?
Pemimpin yang bermental jantung adalah pemimpin yang merakyat sebagaimana yang diminati oleh rakyat. Bukankah tanpa jantung kita tak akan hidup? Karena dengan jantung semua otak, hati, ginjal dan paru-paru pun akan bekerja sebagaimana aturan dalam sistem tata Negara yang semuanya butuh kerja sama. Bagaimana jadinya jika jantung kita lupa mensuplai otak? Bisa jadi pemiliknya pun bakalan pusing.
Bagaimana pula jadinya jika jantung lupa mensuplai darah ke hati? Jelas hati kita akan terbengkalai dan lupa mentralisir racun korupsi. Itulah lemahnya jika pemimpin kita bermental hati karena dia dipimpin bukannya seperti jantung yang memimpin. Hati butuh suplai darah yang berkompisiskan oksigen dan juga nutrisi dan sumbernya itu dari jantung. Jadi, kesimpulannya pemimpin yang berrmentalkan jantung yang dibutuhkan bukannya yang  berhati.
Berapa banyak pemimpin kita yang berorasikan memimpin dengan hati namun apa? Ujung-ujungnya ada saja aturannya yang tak berhati. Lihatlah jantung. Sampai ujung jari pun disuplinya darah. Begitupun juga model pemimpin yang dibutuhkan sekarang ini. Kerjanya 24 jam, sangat pengertian, mensuplai bantuan sampai ketingkat pinggiran tak sekdar teman-teman dekat yang akhirnya timbul istilah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Jangan juga menjadi pemimpi yang jantungan yang kalah ketika pemilihan lantas protes di mana-mana tak mau dengar atinya kekalahan. Tak jadi wakil rakyat justru menyalahkan para tim suksesnya. Tak jadi pilihan rakyat, lantas mengkampanyekan kalau yang menang sudah main-main sejak awal di belakang. Jadilah pemimpn yang berjantung bukan jantungan? Jantung punya saluran yang bekerja sama dengan paru-paru untuk menetralisir setiap darah kotor yang masuk. Begitupun juga dengan pemimpin. Siap kerja sama bukannya kerja sama baru siap.
Itu kelebihan pemimpin berjantung bukan yang berhati. Jika pemimpin yang berhati belum tentu menjadi pemimpin yang berjantung. Kalau pemimpin yang berjantung sudah pasti dia tergolong pemimpi yang berhati. Karena jantung sudah tahu tugasnya mensuplai bantuan pada pemimpin yang berhati, sebagai salah satu tim kerja samanya.
Itulah tipikal pemimpin yang ditbutuhkan sekarang. Jangan beranggapan punya jantung tapi tak bisa mengaplikasikan orang yang punya jantung. Untuk para calon pemimpin pun selayaknya belajar dulu sistem kinerja jantung. Lantas kami tunggu aplikasinya. Ingat, jantung itu butuh kerja sama dengan semua organ yang ada. Namun tak berarti kerja sama pula dalam berkorupsi sebagaiamana yang dicontohkan pemimpin yang berhati.
Tak ada jantung yang lupa untuk mensuplai darah, itulah contoh terbesar yang perlu dicontoh oleh para pemimpin kita. Jika lupa, artinya jantungnya sudah mulai belajar korupsi, itu saja. Mudah bukan? Ditunggu, calon pemimpin ber “jantung” bukan yang ber “jantungan” atau tak ada jantung. Jika berjantungan justru rakyatnya yang akan beresiko sakit yang serupa. Sekarang? Tak lagi dibutuhkan pemimpin ber “hati” tapi yang ber “jantung”. Setuju?

oleh : Hardiyanti Suratman (Mahasiswi STIKES Muhammadiyah Manado)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar