Mencari pemimpin sekarang memang
sulit, apalagi yang memang menjadi pilihan rakyat. Sebagaimana yang didengung-dengungkan
bahwa pemimpin yang dicari sekarang adalah yang merakyat, tak sekedar menjadi
wakil rakyat saja yang justru pada kenyataanya seolah menghianati jantung rakyat.
Bukankah namanya wakil itu lebih di bawah ketimbang rakyatnya? Bukannya yang
menjadi biang kerok ketika digugat. Justru rakyat yang harus digugat karena
sebenarnya merekalah pemimpinya, bukan wakil rakyat. Benar?
Merakyat,
sebenarnya sudah dicontohkan oleh konsep kerja jantung kita. Ya, sistem kerja
jantung sekarang mungkin bisa menjadi contoh bagi yang ingin mencalonkan diri.
Jantung? Siapa yang tak kenal jantung? Sosok organ pemimpin dalam organ tubuh
kita, namun amat disayangkan orang sekarang lebih bersahabat dengan penyakit
jantungnya ketimbang bersahabat sendiri dengan jantung. Apa karena detakannya
hanya mampu dijangkau stetoskop?
Seharusnya yang ingin mencalonkan
diri ditanyakan terlebih dahulu apa dia punya jantung? Atau malah berpenyakitan
jantung? Memang pertanyaan yang bodoh namun
begitulah kita sebagai rakyat yang
kebanyakan dibodohi oleh pemimpin yang katanya ber “hati”. Pemimpin sekarang mayoritas
yang jantungan karena tak memahami siapa itu jantung. Melihat begitu banyak
kabar media yang memvonis bahwa sebagian pemimpin kita “jantungan” ketika
sedikit saja kesalahan yang dilakukan oleh rakyatnya. Contohnya pramugari yang
kini menjadi kabar hangat dan lainnya yang masih dingin karena belum dipanaskan
media.
Pemimpin sekarang dibutuhkan yang
berjiwa “jantung” tak sekedar yang ber “hati” dan tak tahunya sekarang sudah
basi sebagaimana yang banyak didengungkan oleh banyak caleg. Katanya jadi
pemimpin yang berhati, tapi apa? Nyatanya menetralisir racun korupsi saja yang menjadi
kerja utama hati tak dilaksanakan. Mau kerja dengan konsep hati bagaimana? Tapi
itulah kenyataan, oleh karenanya
dibutuhkan sekarang pemimpin yang ber “jantung” bukan sekedar pemimpin yang ber
“hati”.
Ketika kampanye selalu
bersemboyankan menjalin hati dengan memberikan sekilo beras, sekilo minyak goreng,
sepabrik supermi dan beberapa nilai rupiah. Tapi apa setelah resmi dilantik
menjadi pemimpin? Justru tak ada hati. Ya, namanya juga konsep “hati”. Ketika berkampenya
sok ada hati dengan gaya penyantun, namun setelah jabatan terealisasi justru berganti kata menjadi pemimpin yang tak
punya hati. Dasar konsep hati.
Bagaimana dengan model pemimpin
yang berjantung? Bukan yang jantungan atau tak punya jantung. Bukankah
ujung-ujungnya kampenya para caleg berujung menjadi aturan yang akan berdampak
juga pada kesehatan rakyatnya jika memang terpilih. Jika aturannya sehat justru
masyarakat tak bakalan sakit, sakit fisik karena jatahnya dikorupsi dan sakit
otak memikirkan para pemimpinya yang kurang bermental jantung. Nantinya rakyat
yang jantungan dan disitulah akan dipertanyakan apakah pemimpinya punya
jantung?
Pemimpin yang bermental jantung
adalah pemimpin yang merakyat sebagaimana yang diminati oleh rakyat. Bukankah tanpa
jantung kita tak akan hidup? Karena dengan jantung semua otak, hati, ginjal dan
paru-paru pun akan bekerja sebagaimana aturan dalam sistem tata Negara yang
semuanya butuh kerja sama. Bagaimana jadinya jika jantung kita lupa mensuplai
otak? Bisa jadi pemiliknya pun bakalan pusing.
Bagaimana pula jadinya jika jantung
lupa mensuplai darah ke hati? Jelas hati kita akan terbengkalai dan lupa
mentralisir racun korupsi. Itulah lemahnya jika pemimpin kita bermental hati karena
dia dipimpin bukannya seperti jantung yang memimpin. Hati butuh suplai darah yang
berkompisiskan oksigen dan juga nutrisi dan sumbernya itu dari jantung. Jadi, kesimpulannya
pemimpin yang berrmentalkan jantung yang dibutuhkan bukannya yang berhati.
Berapa banyak pemimpin kita yang
berorasikan memimpin dengan hati namun apa? Ujung-ujungnya ada saja aturannya
yang tak berhati. Lihatlah jantung. Sampai ujung jari pun disuplinya darah.
Begitupun juga model pemimpin yang dibutuhkan sekarang ini. Kerjanya 24 jam,
sangat pengertian, mensuplai bantuan sampai ketingkat pinggiran tak sekdar
teman-teman dekat yang akhirnya timbul istilah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Jangan juga menjadi pemimpi yang
jantungan yang kalah ketika pemilihan lantas protes di mana-mana tak mau dengar
atinya kekalahan. Tak jadi wakil rakyat justru menyalahkan para tim suksesnya.
Tak jadi pilihan rakyat, lantas mengkampanyekan kalau yang menang sudah main-main
sejak awal di belakang. Jadilah pemimpn yang berjantung bukan jantungan?
Jantung punya saluran yang bekerja sama dengan paru-paru untuk menetralisir setiap
darah kotor yang masuk. Begitupun juga dengan pemimpin. Siap kerja sama
bukannya kerja sama baru siap.
Itu kelebihan pemimpin berjantung
bukan yang berhati. Jika pemimpin yang berhati belum tentu menjadi pemimpin
yang berjantung. Kalau pemimpin yang berjantung sudah pasti dia tergolong
pemimpi yang berhati. Karena jantung sudah tahu tugasnya mensuplai bantuan pada
pemimpin yang berhati, sebagai salah satu tim kerja samanya.
Itulah tipikal pemimpin yang
ditbutuhkan sekarang. Jangan beranggapan punya jantung tapi tak bisa mengaplikasikan
orang yang punya jantung. Untuk para calon pemimpin pun selayaknya belajar dulu
sistem kinerja jantung. Lantas kami tunggu aplikasinya. Ingat, jantung itu butuh
kerja sama dengan semua organ yang ada. Namun tak berarti kerja sama pula dalam
berkorupsi sebagaiamana yang dicontohkan pemimpin yang berhati.
Tak ada jantung yang lupa untuk
mensuplai darah, itulah contoh terbesar yang perlu dicontoh oleh para pemimpin
kita. Jika lupa, artinya jantungnya sudah mulai belajar korupsi, itu saja.
Mudah bukan? Ditunggu, calon pemimpin ber “jantung” bukan yang ber “jantungan”
atau tak ada jantung. Jika berjantungan justru rakyatnya yang akan beresiko
sakit yang serupa. Sekarang? Tak lagi dibutuhkan pemimpin ber “hati” tapi yang
ber “jantung”. Setuju?
oleh : Hardiyanti Suratman (Mahasiswi STIKES Muhammadiyah Manado)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar